Adakah Negara Yang Lebih Pancasilais Dari Indonesia?
Refleksi Kebangsaan (Menyikapi esai Denny JA berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?)
Oleh : Muhammad Royhan Nasution
Esai Denny JA yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?” sejatinya memiliki banyak nilai positif salah satunya adalah membangkitkan semangat berpikir rasional bangsa serta membawanya ke tahap resurgence of ideology (kebangkitan kembali ideologi) dengan catatan selama tidak mengandung unsur intrik politik. Namun disisi lain juga memicu pro dan kontra di kalangan intelektual
Kemudian Denny JA secara singkat memaparkan prospek mewujudkan NKRI bersyariah setidaknya harus melalui dua tahap. Apa yang Denny paparkan tersebut merupakan jalan yang diajarkan Rasulullah SAW melalui firman Allah dalam Al-Qur'an : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).
Ada tiga jalur yang harus dilewati oleh setiap Muslim yang berkeinginan memasukkan konsep syariah ke dalam tubuh konstitusi negara. Hikmah (ratio legis, academic standing), mauizhah hasanah (pelajaran yang baik) dan yang terakhir adalah etika dalam berdiplomasi dan berdiskusi.
Ajaran hikmah inilah yang menjadi inspirasi Hossein Askari mendirikan yayasan Islamicity Index sebagai benchmark yang membangkitkan kesadaran umat Muslim tentang konsep ajaran Islam yang universal tidak hanya mencakup urusan peribadatan tapi juga secara luas merupakan pedoman peradaban yang lengkap (complete civilization) yang perlu digarisbawahi yayasan ini hanya mempromosikan indeks yang mencakup empat kategori : Economic Islamicity, Legal and Governance, Human and Political Rights, dan International Relation Islamicity Index. Masalah tauhid dan hal-hal yang berkaitan dengan spiritual awareness sengaja tidak diukur supaya indeks ini bisa diaplikasikan untuk mengukur implementasi ajaran Islami di negara dengan mayoritas penduduk non-Muslim.
Setelah melalui proses hikmah (ratio legis, uji akademik) konsep syariah harus dirawat dan dilestarikan melalui mauizhah hasanah (good education) untuk mengantisipasi kegagalan manusia dalam menginterpretasikan konteks dan konsep ajaran Islam serta menjaga 5 fungsi syariah (maqasid syariah) yaitu memelihara kerukunan beragama, memelihara akal, memelihara keturunan (keberlangsungan generasi), memelihara individu (nyawa manusia) dan memilihara harta (keadilan perekonomian rakyat)
Tidak ada yang janggal dalam tulisan Denny JA mengenai tahap yang harus dilalui untuk mewujudkan NKRI bersyariah, kerena sejatinya tahap tersebut juga harus dilalui oleh ideologi apapun mulai dari liberal, kapitalis, marxisme bahkan untuk mempertahankan ideologi Pancasila sendiri.
Kemudian pada segmen selanjutnya pernyataan Denny JA justru memicu pro dan kontra, yang justru bisa merugikan keberlangsungan ideologi Pancasila itu sendiri. Terlepas dari benar atau salahnya hasil riset survey dan pandangan politik yang dianut oleh Denny JA.
Denny memaparkan, bahwasanya hasil riset Islamicity Index dari segi sosial (Tidak termasuk spiritual awaraness) hampir mirip dengan hasil riset UN Sustainable Development Solution Network (SDSN) salah satu lembaga PBB yang mengadakan riset World Happiness Index.
Ada pemikiran yang harus dikritisi mengenai pernyataan yang dipaparkan bung Denny diatas. Kaum intelektual bakal banyak menemukan kesalahan berlogika dan pola pikir bung Denny pada poin-poin selanjutnya. Seharusnya kesimpulan logis dari pemaparan beliau adalah tidak ada yang salah dengan substansi NKRI bersyariah ataupun ruang publik manusiawi yang dibenturkan oleh bung Denny pada judul esainya. yang salah adalah pola manajemen dan praktik dari nilai-nilai tersebut karena faktanya Indonesia bukan NKRI bersyariah, Indonesia sampai detik ini masih Pancasila.
Esai ini semakin rancu ketika Denny diawal mengupas masalah indeks dan tolak ukur namun tidak secara detail menjelaskan konsep Ruang Publik Manusiawi apalagi memiliki indeks yang kompeten mengenai hal tersebut atau mengujinya dalam riset empirik, apakah kondisi NKRI saat ini sudah menjadi ruang publik yang manusiawi?
Justru pembaca bakal menanyakan 'kesadaran logis' bung Denny dalam penulisan esai ini, diawal bung Denny menanyakan sikap terhadap seruan NKRI bersyariah, kemudian memaparkan tahap aplikasi NKRI bersyariah, dilanjutkan pemaparan indeks Islamisitas dan kebahagiaan dimana Indonesia mengalami keterpurukan di dua indeks tersebut, lantas menemukan titik temu kemiripan antara Islam (dasar pemikiran NKRI bersyariah) dengan indeks kebahagiaan PBB, Menemukan akar kesalahan bukan di substansi nilai-nilainya tapi manajemen pengelolaan dan praktek nilai-nilai itu sendiri. Lantas mengakhiri esai dengan membenturkan NKRI bersyariah dengan ruang publik manusiawi, dan yang lebih kritis lagi membenturkan ideologi syariah dengan Pancasila. Disini Denny justru menghancurkan konsep 'Ruang Publik Manusiawi' yang ia gagas sendiri dengan memutuskan secara total dan radikal kesempatan bercengkrama dan titik temu antara NKRI syariah dan Ruang Publik Manusia.
Jadi apa kesimpulan terbaik 'yang seharusnya' disampaikan oleh bung Denny JA dalam tulisannya? Apa jawaban alternatif dari esai beliau?
Sebagai penutup, bangsa ini telah melewati tahap emergence, kemunculan Pancasila merupakan sejarah Indonesia yang memiliki keunikan dan ciri khas yang tidak dipunyai bangsa lain dimana Para pendiri bangsa, the founding fathers, merumuskan jalan tengah yang diterima oleh semua kalangan masyarakat dengan bahasa yang mudah dimengerti tanpa membenturkannya dengan ideologi lain secara eskpilsit terutama ideologi syariah umat Islam sebagai penduduk mayoritas NKRI.
Ruang Publik Manusiawi sebagai ruang publik yang universal seharusnya mampu menampung berbagai bentuk aspirasi termasuk proposal NKRI bersyariah selama tidak melanggar lima sila Pancasila, Hak Asasi Manusia dan beragam macam pandangan kemanusiaann. Ruang Publik Manusiawi juga berfungsi mengembalikan semangat bercengkrama, menciptakan ruang yang hangat untuk mengatasi berbagai macam bentuk krisis, terutama terkait perbedaan, keberagaman pemikiran dan ideologi.
Pancasila terus bertahan menghadapi perubahan sejarah dan arus globalisasi serta berbagai macam bentuk penolakan. Pancasila harus tetap menjadi wadah pemersatu bangsa, bukan sebagai alat investasi elektabilitias politik atau untuk membenturkan ideologi serta memperkeruh suasana kehangatan bernegara.
Memasuki tahap resurgence of ideology (kebangkitan ideologi) sudah waktunya kita menciptakan benchmark Pancasila yang kritis dan relevan sehingga dapat diformulasikan menjadi indeks dengan berbagai macam kategori yang sesuai dengan lima sila dan fungsi filosofis Pancasila dalam institusi non-politis yang transparan. Mengajak tokoh nasional, agama, masyarakat, budaya, akademisi dan kalangan lain dari berbagai elemen masyarakat sehingga bangsa ini bisa disatukan oleh rasionalitas bukan semangat anti-intelektual membenturkan kelompok.
Tujuannya adalah sebagai bahan intropeksi dan refleksi kebangsaan dan untuk mengukur sejauh mana praktek Pancasila secara substansif di daerah-daerah Republik Indonesia, elemen pemerintahan, para pejabat, partai-partai, ormas bahkan di negara-negara dunia, karena bisa jadi kelompok yang mengaku pancasilais hari ini justu indeksnya bobrok, kelompok yang dicap 'radikal' juga punya kemungkinan ternyata memiliki peran sosial yang nyata bahkan negara-negara lain bisa jadi lebih Pancasilais dari Indonesia. Selain itu bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengapresiasi rakyat yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan Pancasila bukan sekedar pelabelan semata.